sebuah blog oleh Hansen Wijaya

Rabu, 18 Mei 2011

Arus Konveksi

Bumi tempat kita tinggal bukanlah bumi yang diam melainkan bumi yang aktif dan dinamis. Gempabumi dan gejala-gejala vulkanisme merupakan 2 pertanda bahwa ada bagian di dalam bumi kita ini yang bergerak secara terus menerus. Para ahli kebumian percaya bahwa di bumi ini terdapat lempeng-lempeng litosfer yang 'mengambang' di atas astenosfer.

Model interaksi antar lempeng (Smith & Pun, 2006)
Model interaksi antar lempeng (Smith & Pun, 2006)

Litosfer merupakan bagian terluar bumi yang padat, kaku, dan mudah pecah, terdiri dari kerak bumi dan mantel bagian atas, sedangkan astenosfer adalah bagian dari mantel bagian atas yang apabila dilewati oleh gelombang gempa, maka gelombang yang melewatinya akan mengalami penurunan kecepatan (dikenal dengan istilah Low Velocity Zone). Astenosfer besifat lunak dan "dapat mengalir". Sifat dari astenosfer ini memungkinkan suatu lempeng litosfer yang menumpang diatasnya bergerak. Mekanisme pergerakan litosfer di atas astenosfer ini mirip dengan sebuah benda yang kita letakan di atas kartu Solitaire.

Shearing motion pada astenosfer yang menyebabkan litosfer di atasnya bergerak (Diktat Kuliah Tektonofisik)
Shearing motion pada astenosfer yang menyebabkan litosfer di atasnya bergerak (Diktat Kuliah Tektonofisik)

Apabila kita membicarakan lempeng-lempeng yang bergerak, maka haruslah kita membicarakan hal yang membuatnya bergerak. Salah satu hipotesa yang paling diterima pada abad ini untuk menjelaskan suatu tenaga yang mampu menyebabkan lempeng yang sangat luas dan berat bergerak adalah hipotesa Arus Konveksi. 

Sebelum teori tektonik lempeng dikemukakan, teori yang berkembang yang berhubungan dengan dinamika bumi adalah teori apungan benua (continental drift) yang dikemukakan oleh beberapa ahli seperti Francis Bacon (1620), Alfred Wegener (1915), dan lain-lain. Teori ini menyatakan bahwa kerak-kerak benua yang ada sekarang ini dulunya bersatu dan kemudian terpecah, bergerak menuju tempatnya berada pada saat ini. Teori ini kurang diterima karena tidak ada alasan yang cukup masuk akal untuk menjelaskan apa yang menyebabkan kerak benua yang mengambang di atas kerak samudra bergerak. 


Hipotesa G. Kirch (1928) tentang pengapungan benua (Diktat Kuliat Tektonofisik)
Hipotesa G. Kirch (1928) tentang pengapungan benua (Diktat Kuliat Tektonofisik)

G. Kirch (1928) mungkin merupakan ahli pertama yang berusaha menjelaskan pergerakan kerak benua di atas kerak samudra dengan menggunakan hipotesa yang hampir sama dengan arus konveksi. Beliau membuat model dari kerak benua yang mengambang di atas kerak samudra, arus panas yang mengalir pada kerak samudra (Sima) dengan arah aliran tertentu, arus ini bergerak naik di tengah benua menyebabkan benua tersebut tertarik, menipis, dan pecah sehingga kerak samudra yang awalnya berada di bawah kerak benua (Sial) 'tersingkap' di antara kerak benua yang pecah.

Ilustrasi du Toit (1927) yang menerangkan pembentukan cekungan rift dan pegunungan perlipatan sebagai akibat keberadaan arus konveksi di kerak samudra (Diktat Kuliah Tektonofisik)
Ilustrasi du Toit (1927) yang menerangkan pembentukan cekungan rift dan pegunungan perlipatan sebagai akibat keberadaan arus konveksi di kerak samudra (Diktat Kuliah Tektonofisik)

Hipotesa apungan benua juga diteliti lebih lanjut oleh Arthur Holmes dan Alexander du Toit. Keduanya menggunakan arus konveksi di bawah kerak untuk mendukung kekuatan penyebab gerakan benua. du Toit (1927) menggunakan arus konveksi untuk menerangkan mekanisme peregangan kerak benua yang menghasilkan sistem rift, sistem kompresi, dan pelipatan yang menghasilkan pegunungan lipatan. Sedangkan Holmes (1944) melalui modelnya menyatakan bahwa keberadaan radioaktif di bawah kerak benua  menjadi sumber panas arus konveksi. Model Holmes ini berbeda dengan model Kirch dan du Toit, Holmes menyatakan arus konveksi yang ada tidak terjadi pada kerak benua melainkan mantel. Model yang dikemukakan Holmes ini dapat dikatakan sebagai suatu kemajuan dalam menjelaskan pergerakan kerak benua.

Ilustrasi Holmes (1944) yang menerangkan arus konveksi sebagai penyebab pergerakan kerak benua. Ini merupakan model yang berbeda dengan kebanyakan model yang ada pada zamannya (Diktat Kuliah Tektonofisik)
Ilustrasi Holmes (1944) yang menerangkan arus konveksi sebagai penyebab pergerakan kerak benua. Ini merupakan model yang berbeda dengan kebanyakan model yang ada pada zamannya (Diktat Kuliah Tektonofisik)

Beberapa dekade sebelum teori arus konveksi dikenal, hampir semua ahli kebumian setuju bahwa bumi kita ini adalah bumi yang statis. Benua-benua dan pulau-pulau yang ada saat ini sudah berada di tempatnya sejak bumi ini ada (baca: diciptakan). Seiring berkembangnya teori arus konveksi, teori apungan benua pada akhirnya digantikan dengan teori tektonik lempeng. Bagian paling utama dari teori ini menyatakan bahwa di bumi ini terdapat lempeng-lempeng litosfer yang 'mengambang' di atas astenosfer. Mekanisme arus konveksi digunakan untuk mejelaskan bagaimana lempeng-lempeng yang ada bergerak di atas litosfer, dan secara sederhana mekansime ini tidak ada bedanya dengan mekanisme pergerakan air pada wadah yang dipanaskan.

Konveksi air pada wadah yang dipanaskan. (USGS, 2001)
Konveksi air pada wadah yang dipanaskan. (USGS, 2001)

Konveksi pada interior bumi hanya dapat berlangsung jika terdapat sumber panas yang cukup . Panas di dalam bumi mungkin dapat berasal dari dua sumber utama, yaitu dari peluruhan radioaktif dan panas residual. Peluruhan radioaktif merupakan proses spontan yang terjadi ketika suatu isotop mengalami kehilangan partikel-partikel dari nukleusnya lalu membentuk isotop dari unsur yang lainnya. Peluruhan radioaktif secara alamiah terjadi pada unsur-unsur kimia seperti uranium, thorium, dan sebagainya dan akan melepaskan energi panas yang secara lambat bermigrasi ke permukaan bumi. Donald J. de Paolo (1981) menyatakan bahwa konveksi pada mantel mendapatkan panasnya dari bagian mantel bagian bawah yang masih memiliki sumber radiaktif yang utuh. Berbeda dengan panas karena peluruhan radioaktif, panas residual merupakan energi gravitasi yang tersisa sejak masa pembentukan bumi melalui proses kompresi debu kosmis, tetapi mekanisme yang memungkinkan bahwa panas ini dapat terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu lalu menciptakan arus konveksi masih belum dapat dijelaskan dengan baik.

Arus konveksi pada mantel (Slide Kuliah Tektonofisik)
Teori arus konveksi pada mantel (Slide Kuliah Tektonofisik)

Sampai saat ini ada beragam model arus konveksi di bawah lempeng yang dikemukakan, ada yang menyatakan bahwa arus konveksi hanya terjadi pada mantel bagian atas (astenosfer), ada yang menyatakan bahwa arus tersebut terdapat mantel secara keseluruhan, dan ada juga yang menyatakan bahwa sebenarnya ada dua jenis arus yang berkonveksi pada mantel (yaitu pada astenosfer dan juga pada mesosfer) pada saat yang bersamaan. Namun pada dasarnya, semua model yang ada tersebut berusaha untuk menjelaskan satu hal, yaitu: pergerakan lempeng litosfer di atas astenosfer.

Secara sederhana, pergerakan lempeng oleh karena arus konveksi dikarenakan oleh sebuah gaya yang disebut sebagai basal drag. Arus konveksi pada mantel naik ke mantel bagian atas (bawah litosfer) dan menyebar ke arah yang saling berlawanan, penyebaran ini menyebabkan bagian bawah lempeng sekonyong-konyong tertarik mengikuti arah pergerakannya. Penarikan ini menyebabkan suatu lempeng turut bergerak, terpecah, dan pada beberada wilayah terangkat atau menunjam ke lempeng yang lainnya. Meskipun pada saat ini diketahui bahwa gaya yang meyebabkan terjadinya pergerakan lempeng ternyata bukan hanya arus konveksi melalui mekanisme basal drag-nya saja, tetapi arus konveksi diterima sebagai salah satu yang menyebabkan lempeng bergerak.

~sekian~

Daftar Pustaka

Buku Elektronik:
Diktat Materi Kuliah Tektonofisik. Program Studi Teknik Geologi.  Institut Teknologi Bandung.
USGS. 2001. This Dynamic Earth: The Story of Plate Tectonics. online edition.

Modul (Perangkat Lunak):
Smith, G.A., dan Aurora Pun. 2006. Active Art and Extension Modules: How Does Earth Works? First Editon.  Prentice Hall, Inc. A Pearson Company

Slide Kuliah:
Abdullah, Chalid Idham, 2006, Slide Kuliah Tektonofisik GL2012, Program Studi Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar