Minyak dan gas bumi (hidrokarbon) merupakan sumber daya energi yang tidak dapat diperbaharui yang berasal dari sisa tubuh makhluk hidup yang terkubur sedemikian rupa di dalam permukaan bumi, seperti halnya batubara. Namun karena sifat fisik dan kimianya yang lebih unggul dari batubara, maka minyak bumi menjadi sumber energi masa kini yang sangat penting. Hasil penyulingan minyak bumi digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, pesawat terbang, pembangkit listrik, dan fraksi berat sisanya digunakan sebagai aspal jalan. Produk olahan dari gas bumi, seperti halnya minyak bumi, juga memiliki pemanfaatan yang kurang lebih sama. Gas bumi di Indonesia sudah digunakan sebagai bahan pembangkit tenaga listrik (salah satunya PLTGU Sengkang), bahan bakar gas (sebagian Bus Transjakarta), dan untuk industri pupuk, petrokimia dan sebagainya.
Minyak bumi dan gas bumi sendiri sudah dikenal manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Hal tersebut ini dibuktikan oleh catatan sejarah yang menyatakan bahwa bangsa China sudah melakukan pemboran minyak sejak zaman dahulu kala dan bahkan sudah menggunakan pipa-pipa bambu untuk mengalirkan minyak bumi pada tahun 347. Minyak bumi di Indonesia sudah dikenal sejak abad pertengahan, misalnya orang Aceh pernah menggunakan minyak bumi untuk memerangi armada Portugis. Industri minyak bumi modern sendiri dimulai di Amerika Serikat pada abad ke-19, disusul beberapa negara Eropa dan bagian dunia lainnya. Indonesia yang dijajah oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dahulu merupakan salah satu negara pertama di antara negara-negara yang paling awal melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi.
Sejumlah lapangan-lapangan minyak yang ditemukan di Sumatera sebelum kemerdekaan RI (Koesoemadinata, 1980)
Industri migas modern di Indonesia dimulai pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1871 seorang pengusaha Belanda, Jan Reerink, melakukan pemboran pencarian minyak bumi di lereng Gunung Ciremai, Majalengka, Jawa Barat. Empat kali pemboran yang dilakukan Reerink di dekat rembasan minyak tersebut sampai pada tahun 1874 tidak memberikan hasil yang komersial sehingga ia menutup usahanya. Selanjutnya usaha menemukan minyak terus dilakukan oleh orang-orang Belanda dengan cara mencari lokasi-lokasi rembesan minyak bumi di permukaan tanah. Pada tahun 1883, Aeilko Zijlker secara tidak sengaja menemukan rembesan minyak bumi di Telaga Tunggal. Sekalipun demikian, baru pada tahun 1885 melalui sumur keduanya Zijlker menemukan minyak yang dapat dikelola secara komersial. Sejak saat itu pencarian lapangan minyak bumi mulai digalakan ke berbagai wilayah nusantara, menghasilkan penemuan berbagai lapangan minyak lainnya baik di Pulau Sumatera sendiri maupun di Pulau Jawa dan di Kalimantan Timur.
Perusahaan Minyak Asing di Nusantara
Keberadaan sumber daya minyak bumi tersebut menyebabkan Indonesia dilirik oleh banyak perusahaan minyak pada awal abad ke-20. Beberapa di antara perusahaan-perusahaan tersebut adalah Dortsche Petroleum Maatschappij (DPM), Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), Nederlandsch Indische Aardolie Maatschappij (NIAM), Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM), Nederlandsche Pasific Petroleum Mij (NPPM), Standard Vacuum Petroleum Maatschappij (SVPM), dan Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Mij (NNGPM). Eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut berhasil menemukan lapangan minyak Talang Akar - Pendopo pada tahun 1921 dan Duri pada tahun 1941. Di Indonesia Timur, pada tahun 1935 eksplorasi dilakukan NNGPM di Papua. Tiga tahun kemudian lapangan minyak Klamono berhasil ditemukan dan disusul dengan lapangan minyak Waisan, Mogoi, dan Sele.
Sampai dengan tahun 1939, minyak bumi di Indonesia dihasilkan sejumlah daerah yaitu Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, Kutai, Jawa Barat, Tarakan, Salawati, Jawa Timur, Barito, Natuna Barat, Seram, dan Bintuni. Produksi minyak dari Sumatera Tengah merupakan produksi terbesar yaitu sekitar 5 juta barel per tahun, diikuti Sumatera Selatan sebesar 1,5 juta barel dan Kutai sebesar 1,3 juta barel. Di zaman penjajahan Jepang, dilakukan rehabilitasi lapangan dan sumur yang rusak pada awal pendudukan Jepang. Sekitar 4000 tenaga ahli didatangkan dan pegawai perminyakan Indonesia juga dipekerjakan. Pada tahun 1943, total produksi minyak bumi Indonesia diperkirakan mencapai 50 juta barel.
Era Laskar Minyak
Tahun-tahun pasca proklamasi kemerdekaan (1945-1957) dikenal sebagai masa perjuangan minyak pra-Pertamina saat dilakukannya nasionalisasi perusahaan minyak asing. Kekosongan kekuasaan pada saat Jepang menyerah pada sekutu dimaanfaatkan oleh pihak Indonesia dengan mengambil alih lapangan-lapangan minyak. Tidak lama setelah itu muncul berbagai perusahaan minyak primumi yang diorganisir oleh kelompok pekerja bersenjata (eks karyawan perusahaan minyak pada saat penjajahan Hindia Belanda ataupun Jepang) yang menamakan dirinya Laskar Minyak. Ladang-ladang minyak yang diusahakan oleh mereka terletak di Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan yang hal itu dilakukan semata-mata untuk mendukung kemenangan RI dalam perang kemerdekaan. Pada tahun 1945 didirikanlah sejumlah perusahaan minyak di Indonesia, yaitu PTMNRI (Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia) di Sumatera Utara dan PTMN (Perusahaan Tambang Minyak Nasional) di Cepu, dan Permiri di Sumatera Selatan dan Jambi.
Kantor Pusat BPM di Batavia (Wikipedia). Saat ini kantor tersebut berada di dalam kompleks Kantor Pusat Pertamina, Gambir, Jakarta Pusat
Agresi militer Belanda pada tahun 1947 dan 1948 membuat wilayah Indonesia terpecah menjadi dua daerah kekuasaan, yaitu daerah kekuasaan RI dan daerah pendudukan Belanda. Banyak lapangan minyak yang berhasil diduduki oleh Belanda, namun meskipun demikian Permiri masih dapat memproduksi minyak yang sebagian hasilnya digunakan untuk bahan bakar pesawat militer Indonesia. Setelah gencatan senjata dengan belanda pada tajun 1950, PTMNRI berubah menjadi PTMRI (Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia) Sumatera Utara dan PTMN menjadi PTMRI Cepu sedangkan Permiri membubarkan diri. Pada tahun 1951, Gubenur Sumatera mengajukan mosi untuk memperjuangkan hasil pertambangan minyak agar lebih menguntungkan Indonesia kepada pemerintah. Sebagai respon dari mosi tersebut, maka dibentuklah Panitia Negara untuk Urusan Pertambangan. Pada tahun 1959 panitia itu menghasilkan RUU untuk mengganti Indische Mijn Wet buatan pemerintah Hindia Belanda tahun 1899 yang sudah tidak sesuai semangat kemerdekaan Indonesia. Secara garis besar, isi RUU itu adalah bahwa hak perusahaan atas lapangan-lapangan minyak akan dikembalikan kepada negara dan didayagunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.
Tidak lanjut dari RUU tersebut adalah diterbitkannya UU No. 10 yang menetapkan pembatalan hak-hak pertambangan konsesi minyak dan gas bumi yang tidak lagi aktif beroperasi atau dioperasikan/diusahakan kembali, dan atau tidak menunjukkan pengusahaan yang sungguh-sunguh. Undang-undang tersebut menjadi langkah awal penerapan kebijakan nasional dalam pengusahaan pertambangan migas di Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1960 diterbitkan UU No. 37 tentang kuasa pertambangan yang diperbaharui satu bulan kemudian dengan UU No. 44. Kedua UU tersebut menyatakan bahwa usaha pertambangan migas hanya dapat diselenggarakan oleh negara dan pelaksanaan pengusahaan itu hanya dilakukan oleh perusahaan negara (dalam hal ini PN Permina, PN Permigan, dan PN Pertamin). Sedangkan pemilik hak konsesi yang sebelumnya diatur dalam Indische Mijn Wet selanjutnya akan menjadi kontraktor perusahaan negara dengan skema kontrak karya.
Sejarah Yuridis Migas di Indonesia sejak tahun 1871 sampai 2004 (Putrohari, 2012). Eksplorasi besar-besaran pada tahap awal berjalannya PSC mengasilkan penemuan-penemuan lapangan minyak baru, meskipun tidak ada yang seraksasa Duri dan Minas. Lapangan Minas sendiri sudah menghasilkan 4,5 milyar barel minyak sejak berproduksi pada tahun 1954 dan saat ini masih berproduksi dengan kapasitas sekitar 140 ribu barel minyak per hari.
Perusahaan Negara
Cikal bakal kelahiran Pertamina sebagai perusahaan migas nasional dimulai pada tahun 1957 saat PT Permina didirikan (yang kemudian menjadi PN Permina pada tahun 1960) serta perubahan NIAM pada tahun 1959 menjadi PT Permindo (yang pada tahun 1961 menjadi PN Pertamin) setelah pemerintah mengambil bagian dalam penguasaannya. Pada tahun 1960-an kurang lebih hanya ada tiga kontraktor yang ada di Indonesia, yaitu BPM/Shell sebagai kontraktor untuk PN Permigan/PTMRI, Caltex sebagai kotraktor untuk Pertamin, dan Stanvac sebagai kontraktor Permina. Selanjutnya pada tahun 1964 seluruh kegiatan hilir Shell, Stanvac, dan Caltex mulai diambil alih oleh Pertamin. Satu tahun kemudian semua aset Shell dibeli oleh PN Permina, Permigan dilikuidasi dan asetnya juga diserahkan ke Permina. Pada tahun tersebut juga, R.P. Koesoemadinata (1980) menuliskan bahwa wilayah kerja ?SPCO di Papua diambil alih oleh Pertamina (tidak jelas apakah PN Permina atau PN Pertamin yang dimaksudkan disini karena keduanya belum dimerger pada saat itu).
Pada tahun 1966 untuk pertama kalinya sistem PSC (Production Sharing Contract) modern diterapkan untuk Wilayah Kerja ONWJ antara PN Permina dengan IIAPCO (meskipun demikian PSC sendiri sudah dikenal sebelum tahun 1966). Lalu sejak tahun 1967, dilakukan eksplorasi besar-besaran di laut/lepas pantai (offshore) dan darat (onshore) oleh PN Pertamin dan PN Permina (yang kemudian digabung menjadi PN Pertamina pada tahun 1968 melalui PP No. 27) bersama dengan kontraktor asing melalui skema PSC. Eksplorasi-eksplorasi tersebut menghasilkan penemuan banyak lapangan minyak lepas pantai yaitu Kompleks Arjuna (1969), Attaka (1970), Cinta (1970), Zelda (1971), Bepakai (1972) dan banyak lainnya, termasuk juga lapangan onshore Jatibarang. Pada tahun 1971, tercatat ada 35 perusahaan migas di Indonesia dengan jumlah investasi dalam ekplorasi lepas pantai mencapai USD 456 juta. Keberhasilan Pertamina dalam ekplorasi juga diimbangi dengan keberhasilannya dalam membeli instalasi pengolahan migas Stanvac pada tahun 1969 setelah juga menguasai beragam fasilitas instalasi BPM dan Caltex sebelumnya.
PSC
Saat pertama kali PSC diterapkan di Indonesia (atau sering disebut sebagai PSC Generasi Pertama) pembagian hasil produksi minyak dan gas bumi di Indonesia menjadi dua bagian. Empat puluh persen yang pertama disebut sebagai cost oil / recovery cost yang dialokasikan untuk pengembalian biaya eksplorasi dan ekslpoitasi. Dan 60% sisanya disebut sebagai profit oil atau equity oil yang dibagi 65% - 70% untuk Pertamina dan 30% - 40% untuk kontraktor (semakin banyak produksinya, semakin besar bagian Pertamina, namun tidak jelas apakah angka ini sudah termasuk pajak atau belum). Setelah tahun 1976, limit cost oil yang sebelumnya 40% dihapuskan sehingga kontraktor dapat mendapatkan kembali 100% dari biaya yang telah dikeluarkan untuk eksplorasi dan eksploitasi sebelumnya. Sisa dari cost oil itu kemudian dibagi antara Pemerintah dan kontraktor 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas (15 dan 30 itu setelah pajak). Konsep PSC yang baru ini sering disebut sebagai PSC Generasi Kedua. Ketentuan 80:15 dan 70:30 yang berlaku sejak tahun 1976 ini tampaknya masih berlaku sampai saat ini sekalipun telah beberapa kali dilakukan perubahan payung hukumnya.
Pada awalnya melalui keberadaan PSC diharapkan perusahaan negara (PN) dapat meningkatkan produksinya tanpa harus mempunyai pengetahuan teknologi dan keahlian yang memadai, tanpa modal investasi yang besar, tanpa melakukan eksplorasi yang instens, maupun melakukan produksi sendiri. Kontrak bagi hasil ini juga membebaskan Pertamina dari resiko kegagalan dalam eksplorasi karena semua resiko aktivitas eksplorasi diserahkan ke kontraktor, yang dalam hal ini adalah perusahaan minyak raksasa multinasional. Pertamina hanya duduk dan mengawasi kegiatan kontraktor dari belakang meja dan menerima bagi hasil. Kepemimpinan Ibnu Sutowo di Pertamina pada awal 1970-an dengan PSC-nya membawa produksi minyak Indonesia melampaui 1 juta barel per hari dan mulai terbukanya pintu-pintu pinjaman hutang dari Barat setelah Orde Lama jatuh, menyebabkan Pertamina dapat membangun hotel dan real estate, rumah sakit, lapangan golf, pesawat jet penumpang, helikopter, pabrik pupuk, dan pabrik besi baja, serta lain-lainya yang tidak ada hubungannya dengan migas. Bahkan sebagian besar keuntungan industri minyak sebenarnya tidak diserahkan kepada pemerintah, melainkan digunakan untuk menambah dana yang disediakan bagi dan digunakan oleh Angkatan Bersenjata dan pimpinannya (Kuncoro dkk., 2009). Dalam pengusahaan/industri migas sendiri, Pertamina menjelma penjadi perusahaan eksplorasi dan eksplotasi (industri hulu) serta pemurnian, pengolahan, pengangkutan, dan pemasaran (industri hilir) minyak dan gas bumi.
Jeda antara penemuan suatu potensi migas sampai ke puncak produksi dicapai dalam 20-30 tahun (Putrohari, 2012). Lapangan minyak Minas dan Duri, sebagai contoh, yang ditemukan pada tahun 1940-an baru mencapai puncak produksi-nya sekitar 30 tahun kemudian. Lapangan migas baru yang ditemukan pada saat ini, pemanfaatannya baru akan optimal 20 tahun kemudian.
Krisis Pertamina dan Oil Boom
Kesuksesan Pertamina menyebabkan para pelaku pasar dan investor berlomba-lomba untuk memberikan fasilitas kredit dan berbagai fasilitas pembiayaan dana dalam jumlah besar. Bank-bank Jepang dan Amerika bahkan bersedia menurunkan standar persyaratan bank agar kompetitif dan dapat bersaing diantara para bankir tanpa memikirkan resiko dan eksposur kredit Pertamina. Pada tahun 1972, Kedutaan Amerika Serikat menyatakan kekhawatirannya tentang pinjaman Pertamina yang terlalu besar, melebihi dari yang diperlukan untuk membiayai proyek minyak dan gas bumi yang dimiliki Pertamina pada saat itu. Kolapsnya harga USD pada tahun 1973 yang diikuti oleh kenaikan harga minyak (oil boom) per barel dari USD 2 menjadi USD 15 menyebabkan keuangan dunia mengalami kesulitan. Pertamina tidak mungkin mendapatkan pendanaan lagi dalam jumlah besar untuk membayar hutang-hutangnya. Pada bulan Febuari 1975, Pertamina gagal melunasi utang jangka pendeknya yang relatif kecil USD 40 juta dari suatu konsorsium bank Amerika Serikat. Selanjutnya pada bulan Maret 1975 Pertamina kembali gagal membayar utang USD 65 juta dari konsorsium bank Kanada, mengakibatkan kondisi Pertamina terancam dan semua utang-utangnya menjadi default.
Setelah BI melalukan perhitungan, ditemukan bahwa hutang Pertamina telah mencapai USD 10,5 milyar. Untuk menyelamatkan Pertamina BI harus mengeluarkan dana sebesar USD 650 juta sebagai kredit bagi Pertamina untuk membayar hutang-hutangnya. Di lain pihak, Ibnu Sutowo berusaha untuk meyakinkan Gubenur California agar membuat kebijakan dan peraturan yang mengharuskan seluruh pembangkit listrik di California harus membeli minyak dari Indonesia yang sulfurnya rendah dan tidak berpolusi. Pemerintah juga berupaya melobi beberapa bank Amerika dan Jepang untuk memberikan pinjaman untuk mengisi cadangan dana. Upaya-upaya penyelamatan tersebut kemudian berhasil sehingga Pemerintah Indonesia dapat membayar hutang-hutang Pertamina. Pemerintah juga mengamini bahwa hutang Pertamina diakibatkan oleh penggunaan sebagian besar pengeluaran Pertamina sebelum kebangkrutannya untuk mendukung proyek-proyek yang tidak ekonomis dan tidak ada hubungannya dengan fungsi Pertamina.
Pada saat Pertamina mengalami kirisis, industri minyak dunia baru saja mengalami oil boom (1973). Karenanya juga maka Pertamina bisa dipertahankan, meskipun hal ini menjadi suatu ironi. Ketika seharusnya Pertamina bisa memperoleh keuntungan yang besar dari naiknya harga minyak, namun malah terjebak pada pembayaran hutang yang disebabkan oleh kesalahan pengelolaan di dalam tubuh Pertamina. Di tengah 'krisis' di tubuh Pertamina, tahun 1977 produksi minyak Indonesia masuki puncaknya yang pertama (yang sekaligus puncaknya yang paling tinggi sampai hari ini) yaitu 1.63 juta barel perhari. Pada tahun 1979 oil boom yang kedua terjadi dan pada tahun anggaran 1981/1982 penerimaan total dalam negeri dari industri migas mencapai 71% dari penerimaan negara.
Pada saat Pertamina mengalami kirisis, industri minyak dunia baru saja mengalami oil boom (1973). Karenanya juga maka Pertamina bisa dipertahankan, meskipun hal ini menjadi suatu ironi. Ketika seharusnya Pertamina bisa memperoleh keuntungan yang besar dari naiknya harga minyak, namun malah terjebak pada pembayaran hutang yang disebabkan oleh kesalahan pengelolaan di dalam tubuh Pertamina. Di tengah 'krisis' di tubuh Pertamina, tahun 1977 produksi minyak Indonesia masuki puncaknya yang pertama (yang sekaligus puncaknya yang paling tinggi sampai hari ini) yaitu 1.63 juta barel perhari. Pada tahun 1979 oil boom yang kedua terjadi dan pada tahun anggaran 1981/1982 penerimaan total dalam negeri dari industri migas mencapai 71% dari penerimaan negara.
Produksi migas yang memukau dan pendapatan yang maksimal menyebabkan kondisi Pertamina menjadi lebih baik. Kira-kira pada tahun 1980-an, dilakukan pengembangan proyek-proyek LNG, ekspansi kilang-kilang di Balikpapan dan Cilacap, dan keorganisasian Pertamina ditata ulang. Rezeki nomplok minyak pada awal 1980-an ini lantas digunakan oleh pemerintah sebagai dana investasi pembangunan nasional di segala sektor, bidang maupun regional. Penemuan lapangan-lapangan baru pada periode 1970-an membuat produksi minyak nasional pada tahun 1900-an kembali meningkat setelah mengalami penurunan pada tahun 1980-an. Pada tahun 1995, produksi minyak Indonesia memasuki puncak kedua dengan pencapaian 1.61 juta barel per hari. Industri Migas pada era Orde Baru merupakan suatu sektor yang memegang peranan sangat penting sebagai penggerak perekonomian nasional.
Bersambung
Referensi:
ExxonMobil Indonesia, 2010. Country Fact Sheet. Link
Koesoemadinata, R. P., 1980. Geologi Minyak dan Gas Bumi. Bandung: Penerbit ITB
Kuncoro, M. dkk., 2009. Transformasi Pertamina: Dilema Antara Orientasi Bisnis & Pelayanan Publik. Yogjakarta: Galangpress. Link
Migas Review, 2013. Penemuan Pertama Minyak dan Gas Bumi di Indonesia. Link
Partowidagdo, W., 2008. Production Sharing Contract (PSC) dan Cost Recovery di Industri Hulu Migas. Link
Petroleum Economist, 2011. Murphy deep-water Lengkuas wildcat dry. Link
Petroleum Economist, 2011. Murphy deep-water Lengkuas wildcat dry. Link
Putrohari, R. D., 2012. Perkembangan Tata Kelola Migas di Indonesia (1900-2012). Link
Sidharta, E. H., 2012. Pertamina: Belajar dari Sejarah. Link
Catatan:
- Mengenai sejarah awal industri migas, saya melakukan penggabungan dari beberapa referensi. Perlu dicatat bahwa dari satu referensi ke yang lainnya kadangkala ada berbagai perbedaan, seperti halnya Prof. Koesoemadinata (1980) menulis bahwa pada tahun 1912 di Indonesia berdiri SVPM (Stanvac) yang memiliki anak perusahaan NKPM di Sumsel. Namun dalam penelusuran saya, nama Stanvac itu baru eksis pada tahun 1933 setelah SONJ/Jersey Standard (Exxon) dan Socony-Vacuum (Mobil) membentuk joint venture 50:50 dan bertahan sampai tahun 1962. Nama Stanvac di Indonesia tampaknya masih bertahan sampai tahun 1995 sebelum 'dibeli' oleh Medco. Pada tahun 1998 Exxon dan Mobil merger dan dua tahun kemudian Mobil Oil Indonesia berubah menjadi ExxonMobil Oil Indonesia. Saya kurang jelas mengenai penguasaan asset Stanvac di Indonesia setelah perusahaannya bubar, dan urut-urutan bagaimana Mobil Oil masuk ke Indonesia.
- Bacaan lain yang disarankan: Sondi, I. 2010. Memahami Kontrak Pengelolaan Migas di Indonesia. Link
Tidak ada komentar:
Posting Komentar