Mingu lalu, ada seseorang yang mengatakan kepada saya tentang bagaimana negara tetangga kita, Filipina begitu siap menghadapi persaingan tenaga kerja global. Well, maksudnya bukan mereka menyediakan lulusan yang baik dan tenaga kerja yang handal dari sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang ada disana. Melainkan bagaimana mereka mempersiapkan tenaga kerja yang mungkin di Indonesia kadang disebut tenaga kerja alih daya alias outsourcing. Filipina diceritakan telah membuat semacam tempat-tempat penggemblengan untuk melatih seseorang menjadi seorang bawahan maupun sebagai atasan (contoh: manager) untuk ditempatkan di negara-negara yang membutuhkan tenaga outsourcing. Dengan kata lain, mereka sedang bersiap-siap untuk bersaing dengan negara yang dikenal sebagai pengekspor tenaga alih daya di muka bumi ini, yaitu Indonesia.
"Hal yang turut memperburuk kesenjangan pendapatan adalah posisi tawar-menawar serikat pekerja. Pelimpahan pekerja lewat outsourcing (alih daya) ke India dan Filipina dan tekanan pada upah akibat persaingan dari manufaktur China turut menekan upah buruh di AS. (Kompas, 15 September 2013)"
Pembicaraan kami mengenai topik outsourcing itu menjadi segar kembali dalam ingatan saya ketika saya membaca Kompas pada sore hari ini. Disebutkan bahwa kondisi ekonomi warga negara AS yang tidak banyak membaik disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama karena adanya serbuan tenaga kerja outsourcing (yang diterjemahkan sebagai alih daya) dari India dan Filipina serta kedua karena adanya manufaktur-manufaktur di China yang menekan upah buruh (baca: pekerja) di AS. Untuk meneruskan perusahaan yang (pernah atau sedang) carut marut akibat krisis ekonomi yang melanda, perusahaan-perusahaan di AS harus menekan sebesar mungkin pengeluaran mereka. Karena itu, wajar rasanya banyak perusahaan di AS mengambil tenaga dari negara lain yang lebih murah (dengan kualitas yang sama dengan tenaga dari AS sendiri) dan tentunya tidak banyak merepotkan perusahaan (karena ada perusahaan outsourcing yang mengurusi pekerja-pekerja tersebut). Hal ini juga disebabkan juga oleh betapa efisiennya (dari segi keuangan) manufaktur (baca: perusahaan) di China karena murahnya segala sesuatu (termasuk upah pekerja).
Apa yang terjadi di Amerika Serikat berbeda dengan kondisi yang secara umum terjadi di Indonesia, dimana kesan outsourcing memiliki stempel yang agak rendahan. Ya, bisa dibilang begitu karena selama ini yang kita kenal tenaga outsourcing yang sering demo dan meminta pemerintahan untuk menghapuskan outsourcing di muka bumi Indonesia adalah buruh pabrik. Tapi perlu kita sadari bahwa perusahaan-perusahaan penyedia tenaga alih daya itu tidak hanya memperkerjakan buruh pabrik, melainkan juga sekretaris kantor, office boy, tukang parkir, dan bahkan tenaga ahli baik lulusan sarjana maupun master. Memang benar bahwa tenaga alih daya itu bergaji lebih murah, namun tidak jarang saya menemukan di Jakarta pekerja outsourcing yang berstatus tenaga ahli digaji 4x pendapatan buruh pabrik. Seorang tenaga outsourcing (tidak semua) mempunyai hak untuk mendapatkan slip gaji (artinya bisa buat kartu kredit juga), asuransi kesehatan (tidak perlu khawatir kalau tiba-tiba dirawat inap), tunjangan kesehatan (untuk kondisi sakit ringan yang dirawat jalan), uang lembur (lumayan untuk menambah penghasilan), dan snack bulanan (untuk ngemil kalau lapar). Bahkan untuk yang bekerja di kantor bisa mendapatkan akun surel dari perusahaan dan akses internet.
Filipina dan India memiliki peranan yang jauh lebih berbeda daripada Indonesia dalam bidang ketenagakerjaan. Kita memang mengenal kedua negara tersebut sebagai negara pengekspor pembantu rumah tangga seperti halnya negara kita, namun suatu saat nanti akan ada perbedaan yang jauh lebih besar lagi. Pada saat Chevron membutuhkan seorang manager, mereka akan ambil langsung dari India yang tarifnya lebih murah daripada orang Indonesia. Pada saat Rekin membutuhkan seorang master Teknik Kimia terlatih, mereka akan ambil langsung dari Filipina yang tarifnya lebih murah daripada orang Indonesia. Mungkin agak sedikit berlebihan untuk saat ini, namun hal itu akan terjadi di negara kita yang konon katanya akan menjadi salah satu negara berekonomi kuat di kemudian hari. Jika orang Indonesia gagal menunjukan bahwa mereka adalah tenaga kerja yang lebih baik daripada tenaga outsourcing India dan Filipina, maka mereka akan bernasib sama dengan warga negara AS yang dalam kurun waktu 4 tahun (2009-2012) nyaris tidak mengalami kebaikan dalam perekonomian mereka karena serbuan tenaga kerja asing dan persaingan dengan negara berkembang lainnya.
Tulisan ini tidak hendak membahas tentang tenaga kerja di Indonesia ataupun TKI di luar negeri yang berkerja sebgai buruh pabrik ataupun PRT. Dua puluh atau tiga puluh tahun lagi sebagian warga negara Indonesia mungkin adalah lulusan sarjana dan jumlah lulusan master akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan saat ini. Oleh karena itu, tenaga outsourcing akan lebih banyak terserap tidak lagi di tenaga kerja non-ahli, melainkan tenaga kerja ahli. Tenaga kerja outsourcing dari luar negeri itu sepertinya tidak akan berdemo untuk dinaikan statusnya menjadi tenaga kerja tetap perusahaan. Bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa orang Indonesia tidak tahu bagaimana bersyukur, tapi bagi mereka menjadi tenaga outsourcing di negara lain mungkin masih lebih baik daripada tidak menjadi apa-apa di negara mereka yang memang tidak bisa menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. Sama halnya dengan banyaknya TKI kita yang bekerja di luar negeri daripada tidak menjadi apa-apa di Indonesia. Terlepas dari dua hal: entah karena kita kurang berusaha untuk melihat peluang, atau memang karena peluang itu memang tidak ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar