sebuah blog oleh Hansen Wijaya

Selasa, 12 November 2013

Insinyur vs Sarjana Teknik

Ketika membaca rubik keuangan Kompas, saya mendapati sebuah tulisan dengan tajuk  Indonesia bakal diserbu insinyur impor. Tulisannya cukup menarik tapi membuat saya bingung dengan definisi yang digunakan. Mungkin karena wartawannya yang tidak menangkap dengan baik pesan narasumber atau juga karena narasumber tidak berbicara dengan baik pada saat wawancara. Atau memang karena penulis artikelnya bermaksud untuk mengabungkan pemikiran dari dua narasumber tapi tidak klop satu dengan yang lainnya.

Pada awalnya dinyatakan bahwa Indonesia jumlah insinyur Indonesia sangat kurang dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia. Penulis mengutip pernyataan narasumber bahwa Indonesia hanya punya 164 insinyur per 1 juta jiwa penduduk (230 juta jiwa penduduk = 37 ribu insinyur), kemudian membandingkannya dengan Malaysia yang punya 397 insinyur per 1 juta jiwa penduduk (27 juta jiwa penduduk = 11 ribu insinyur). Muncul tanda tanya di dalam kepala saya, apa benar dari 230 juta jiwa penduduk Indonesia hanya ada 37 ribu insinyur?

Ilustrasi Insinyur Kompas.com

Selanjutnya disebutkan bahwa Malaysia memiliki rasio insinyur per total sarjana mencapai 50% (sedangkan Indonesia hanya 11% atau 1,05 juta orang). Dilanjutkan lagi (dalam satu paragraf) dengan Malaysia sekarang punya 13 juta sarjana teknik dari total 27 juta jiwa penduduknya. Nah lho jadi yang dimaksudkan itu sarjana teknik apa insinyur sebenarnya? Kalau jumlah insinyur di Malaysia cuma 11 ribu dan jumlah sarjananya besar dari > 13 juta jiwa bagaimana mungkin rasio insinyur per total sarjananya 50%? Dan kalau jumlah insinyurnya jadi 1,05 juta orang artinya rasio insinyur di Indonesia itu 4 ribu insinyur per 1 juta penduduk dong?

Kemudian diterangkan bahwa Indonesia membutuhkan 130 ribu insinyur per tahun hingga 2015. Sementara pada 2015 sampai 2030, Indonesia memerlukan sedikitnya 175 ribu (tidak jelas apakah selama 15 tahun itu butuh jumlah segitu atau bertambahnya sejumlah 175 ribu tiap tahun) insinyur untuk mendorong industri dan kawasan ekonomi khusus. Nah, dari peryataan yang pertama artinya tahun depan, dan tahun 2015 kita butuh total lebih dari 260 ribu insinyur. Jumlah ini 7 kali lipat lebih besar dari angka 37 ribu yang seharusnya adalah jumlah total insinyur di Indonesia yang mendapatkan gelar itu dalam kurun waktu beberapa puluh tahun.

Penulis lantas memasukkan pernyataan narasumber lainya, Menko Perekonomian Hatta Rajasa: “Jangan sampai insinyur asing yang masuk dan mengolah sumber daya alam kita. Tidak boleh terjadi”. Pada paragraf selanjutnya pernyataan Pak Hatta kembali mengemuka: “Indonesia harus sedikitnya menambah 175 ribu sarjana teknik per tahun pada 2025 (dst)”. Nah, bisa ditangkap sepertinya yang dimaksudkan oleh Pak Hatta insinyur = sarjana teknik. Hal ini bersesuaian dengan definisi KBBI bahwa insinyur bisa diartikan dengan sarjana teknik. Lantas kok angka-angka yang ada pada paragraf sebelumnya membingungkan?

Insinyur, adalah seseorang yang bekerja dalam bidang teknik, dengan kata lain insinyur merupakan orang-orang yang menggunakan pengetahuan ilmiah dan teknologi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Istilah ini pernah dipergunakan sebagai gelar seseorang sarjana keteknikan. Namun setelah muncul gelar ST (sarjana teknik), instilah insinyur ini kemudian hanya digunakan untuk sarjana keteknikan telah bergabung dalam PPI.

Menurut orang dalam PPI, gelar sarjana teknik adalah gelar akademik dan berbeda dengan insinyur yang sebenarnya adalah gelar profesi. Sarjana teknik yang ingin memiliki gelar profesi harus melalui pendidikan yang diselenggarakan organisasi profesi (baca: PPI). Gelar insinyur pun dapat diberikan kepada siapa saja, tidak harus dari kalangan sarjana teknik, asalkan yang bersangkutan telah bekerja dalam bidang rekayasa teknik untuk melakukan nilai tambah, daya guna dan pelesatarian.

Ilustrasi Insinyur Republika Online

Besar kemungkinan apa yang dimaksud penulis di Kompas itu pada awalnya insinyur = anggota PPI = 37 ribu. Namun untuk selanjutnya, kata insinyur lebih cocok diganti dengan sarjana teknik. Sehingga tidak benar kalau ditulis ‘rasio insinyur per total sarjana di Malaysia mencapai 50%’, seharusnya ditulis ‘rasio sarjana teknik per total sarjana di Malaysia mencapai 50%’. Dengan demikian dapat ditulis ‘rasio sarjana teknik per total sarjana di Indonesia ada sekitar 11% atau sejumlah 1,05 juta orang’.

Kita bisa membandingkannya dengan pernyataan Ketua Advisory Board ITB, Yani Panigoro (02/03/2013) yang mengatakan bahwa negara ini masih membutuhkan 175 ribu sarjana teknik tiap tahunnya namun pendidikan di Indonesia baru bisa menghasilkan kurang lebih 42 ribu sarjana teknik per tahun. Selama beberapa puluh tahun, wajar rasanya jumlah sarjana teknik di Indonesia mencapai angka 1,05 juta. 

Dalam penulisan berita, seringkali kata insinyur disamakan dengan sarjana teknik. Hal ini tidak salah selama penggunaan sarjana teknik sebagai insinyur konsisten sepanjang tulisan. Jangan sampai tulisan yang seharusnya penting dan mendidik, jadi membingungkan karena pengunaan definisi yang tidak tepat. 

Sangat penting, agar pembaca (termasuk pembaca artikel di blog ini) agar  membaca tulisan dengan teliti - dan juga mencari pembandingnya di tempat lain - karena artikel-artikel itu yang bikin masih manusia yang bukan hanya terbatas pengetahuan, tapi juga kadangkala sok tahu.. haha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar