sebuah blog oleh Hansen Wijaya

Minggu, 16 September 2012

Fosil

Pada tahun 1992, Charles Fickle sedang jalan-jalan dengan anjing kesayangannya di Littleton, Colorado. Dia (atau mungkin anjingnya) menemukan tulang yang sangat besar dan keras menyembul dari permukaan dan menduga temuannya itu mungkin adalah fosil – sisa tubuh organisme yang hidup di waktu yang lampau. Fickle memberitahu Museum Alam dan Pengetahuan Denver mengenai hal tersebut. Museum kemudian mengirimkan beberapa ahli paleontologi - orang yang mempelajari fosil tumbuhan dan hewan - ke tempat yang diceritakan Fickle. Dari penggalian yang dilakukan, berhasil ditemukan rangka lengan kanan yang utuh, sepuluh buah gigi, tulang bahu, dan bagian tulang belakang yang diduga dimiliki oleh dinosaurus pemakan daging Tyrannosaurus rex. (Paragraf ini diterjemahkan dari salah satu bagian dari buku Raham (2009) dengan sedikit perubahan).
Sketsa Mary Anning (1799-1847), seseorang wanita pencari fosil, dengan palunya (Thomson, 2005)
Sketsa Mary Anning (1799-1847), seseorang wanita pencari fosil, dengan palunya (Thomson, 2005)

Orang Roma kuno memiliki kebiasaan untuk menyebut semua yang digali dari tanah dengan “fossilium”. Kata itu menjadi fossile dalam bahas Perancis, digunakan untuk menyebut hasil galian kepiting ketika membuat liang di pasir pasir sampai gumpalan emas yang dari tambang-tambang emas. Kata fosil dalam paleontologi digunakan untuk menyebut sisa-sisa dari bagian tubuh makhluk hidup beserta jejaknya yang terawetkan secara alamiah dan berusia lebih dari 10.000 tahun yang lalu. Beserta jejaknya berarti jejak kaki sepasang kera yang sedang pacaran di tepi pantai seratus ribu tahun lalu bisa dikatakan sebagai fosil. Terawetkan secara alamiah berarti mumi-mumi manusia meskipun masih awet sampai saat ini (dan barangkali ada yang berusia lebih dari 10.000 tahun?) bukanlah fosil karena ada campur tangan manusia yang melakukan pembalsaman. Berusia lebih dari 10.000 tahun yang lalu berarti sisa tulang belulang kerbau yang baru mati diterkam oleh singa Afrika tahun lalu tidak bisa disebut sebagai fosil sekalipun masih awet sampai sekarang.

Ilustrasi yang menjelaskan proses makhluk hidup yang mati terkubur, menjadi fosil, dan ditemukan

Apakah semua makhluk hidup yang mati akan menjadi fosil? Dengan banyaknya mikroorganisme pembusuk dan agen-agen erosi di permukaan bumi, bagian tubuh dari organisme yang mati akan dengan segera membusuk atau termakan dan terbawa ke berbagai tempat lainnya akibat erosi. Kebanyakan makhluk hidup yang memiliki rangka tulang sejati dan cangkang yang keras hanya akan meninggalkan rangka dan cangkang mereka, beberapa yang jasad makhluk hidup yang bertubuh lunak dan tanpa cangkang malah akan lenyap sama sekali. Jejak kaki kepiting yang sering kita temukan di tepi sungai hari ini pun akan menghilang dengan turunnya hujan besok pagi. Bahkan tulang dan cangkang dapat menjadi lapuk dan hancur apabila terekspos cukup lama karena kerasnya alam ini.

Beberapa serangga berumur lebih dari 38 juta tahun yang lalu yang teramberisasikan (Raham, 2009)
Beberapa serangga berumur lebih dari 38 juta tahun yang lalu yang teramberisasikan (Raham, 2009)

Tidak semua makhluk hidup yang mati pasti akan menjadi fosil, namun seringkali kita tidak menyadari kehadiran mereka di sekitar kita.  Coba bayangkan, jika ada 200 juta manusia di Indonesia saat ini dengan angka kematian konstan 10 juta jiwa pertahun. Dalam 10.000 tahun akan ada 100 miliar rangka yang menumpuk di negara kita. Dengan asumsi bahwa mereka dimakamkan di daratan (+ 2 juta km²) dan hanya 1/10 saja dari tulang belulang tersebut yang terfosiliasikan, maka tiap 1 km² tanah di Indonesia kita gali pada tahun 12.012 Masehi akan ditemukan 5.000 fosil manusia! Dengan kehidupan di bumi yang sudah eksis sejak ratusan juta tahun yang lalu dan makhluk yang hidup tidak hanya manusia saja, kadang kita dapat menemukan fosil ketika kita sedang jalan-jalan bersama binatang peliharaan kita, sama seperti Fickle dan anjingnya. Namun, dengan cara yang bagaimana daun tumbuhan, serangga purba, dan bahkan jejak dinosaurus pada masa yang lampau, jutaan-puluhan-ratusan juta tahun yang lalu yang tidak bertulang sejati dan tidak bercangkang keras bisa terfosilkan?

Jenis-jenis fosilisasi.
Jenis-jenis fosilisasi.

Ada banyak jalan menuju Roma, ada banyak cara makhluk hidup dan jejak kehidupannya terfosilisasikan. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan bagian tubuh makhluk hidup dan jejak kehidupannya dapat mejadi fosil. Yang pertama adalah makhluk hidup tersebut ketika mati harus berada di lingkungan yang tidak memungkinan bakteri pembusuk hidup. Lingkungan ini bisa jadi lingkungan yang sangat kering, sangat asin, atau sangat dingin, dan dalam beberapa kasus, lingkungan reduksi seperti rawa-rawa (kita tahu bahwa rawa-rawa adalah salah satu tempat utama pembentukan gambut - calon batubara karena sedikitnya kandungan oksigen di sana menyebabkan pembusukan nyaris tidak terjadi). Yang kedua adalah makhluk hidup atau jejak kehidupannya tersebut ketika mati harus dengan cepat tertutup oleh media tertentu (sedimen, amber, aspal, ataupun kerak) yang mampu melindunginya dari erosi. Dan yang ketiga adalah makhluk hidup tersebut memiliki bagian tubuh yang keras, seperti tulang maupun cangkang yang tidak dapat membusuk dan lebih tahan terhadap erosi. Ketiga kondisi di atas tidak harus dipenuhi semuanya, meskipun tidak memiliki bagian tubuh yang keras maupun langsung tertutup oleh media tertentu organisme yang berada di lingkungan yang sangat kering dapat termumifikasi dan yang berada di lingkungan yang sangat dingin dapat terawetkan dengan pembekuan. Demikian juga lubang yang digali oleh cacing laut dapat terfosilkan meskipun dinding lubang itu tidak sekeras tulang atau cangkang apabila terhindar dari agen-agen erosi.

Jejak kaki T-Rex

Semua makhluk hidup dan jejak yang ditinggalkannya pada masa lampau memiliki kemungkinan untuk menjadi fosil. Mungkin sulit bagi kita membayangkan bagaimana jejak kaki si T-rex yang hidup puluhan juta tahun yang lalu bisa bertahan sampai sekarang, tapi kenyataan yang ada tidak dapat dipungkiri begitu saja. Bukan hanya makhluk hidup yang kita kenal seperti tumbuhan, hewan, dan (apa yang mereka sebut dengan) manusia purba bisa menjadi fosil, foraminifera, salah satu organisme yang hanya bisa diamati di bawah lensa mikroskop, memiliki cangkang nan tipis yang ternyata dapat bertahan sampai puluhan juta tahun. Tidak hanya organisme-organisme bercangkang tipis saja, kotoran hewan purba pun bisa menjadi fosil - koprolit (coprolite).

Berbagai jenis foraminifera yang terdapat di Hebridian Slope
Berbagai jenis foraminifera (resen) yang terdapat di Hebridian Slope

Berdasarkan ukurannya, jenis fosil dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu makrofosil, mikrofosil, dan nanofosil. Makrofosil (macrofossil) adalah fosil yang berukuran cukup besar sehingga dapat dipelajari tanpa menggunakan alat bantu optik. Mikrofosil (microfossil) adalah fosil yang berukuran kecil dan untuk mempelajarinya diperlukan alat batu optik seperti mikroskop. Sedangkan nanofosil (nannofosil) adalah fosil yang berukuran sangat kecil sehingga tidak dapat dipelajari dengan menggunakan mikroskop biasa. Cabang paleontologi yang khusus hanya mempelajari makrofosil disebut dengan makropaleontologi, sedangkan cabang paleontologi yang khusus mempelajari mikrofosil (dan nanofosil) disebut dengan mikropaleontolgi. Bahkan ada cabang yang khusus mempelajari serbuk sari dari tumbuhan purba yang disebut dengan palinologi (palinology) dan ada juga cabang yang khusus mempelajari fosil jejak tumbuhan dan hewan yang disebut dengan paleoichnology.

Cangkang Pterotrigonia thoracica
Cangkang Pterotrigonia thoracica. Palecypoda yang hidup pada Zaman Kapur (145-65 juta tahun yang lalu).

Fosil adalah sesuatu yang menarik untuk dipelajari. Ada banyak rahasia-rahasia yang tersembunyi di balik kehadiran mereka dalam suatu lapisan sedimen. Dengan mempelajari fosil, kita dapat (1) mengetahui umur batuan yang mengandung fosil yang bersangkutan, dan (2) mengetahui lingkungan pengendapan dari batuan tersebut. Kegunaan fosil tidak hanya dua itu saja, Nicolaus Steno (1638-1686) dapat mengeluarkan Hukum Superposisi (Superposision), Prinsip Awalnya Horizontal (Horizontal Originality), dan Prinsip Kemenerusan Lateral (Lateral Continuity) yang tetap berlaku sampai hari ini di dunia Geologi karena memahami mempelajari keberadaan fosil pada batuan sedimen. Alfred Wegener (1830-1930) juga pernah menggunakan bukti penyebaran fosil untuk mendukung pendapatnya bahwa Benua Amerika dengan Eropa dan Asia dulunya bersatu. Saat ini, para ahli geologi menggunakan fosil untuk mempelajari perubahan iklim purba, kenaikan muka air laut relatif, bahkan riwayat tsunami di suatu wilayah.

Tertarik mempelajari fosil? Kuliahlah di jurusan Geologi
#promosi

Referensi:
Raham, G., 2009. Fossils. New York: Chelsea House.
Sartono, S. dan B.E. Masrubi, 1978. Praktek Paleontologi Invertebrata. (tempat dan perusahaan penerbit tidak diketahui dengan pasti),
Thomson, K., 2005. Fossils. New York: Oxford University Press.
Tim Asisten Praktikum Paleontologi ITB. 2009. Modul Pendahuluan Praktikum Paleontologi. Bandung: Laboratorium Paleontologi ITB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar